Pages

SHOPEE

Kualitas Layanan Publik

Pengertian Kualitas
Tjiptono (1996:51) mengemukakan bahwa secara spesifik tidak ada definisi mengenai kualitas layanan yang diterima, namun secara universal, dari definisi yang ada terdapat beberapa persamaan, yaitu dalam elemen-elemen sebagai berikut :

1.    Kualitas meliputi usaha memenuhi atau melebihi harapan pelanggan.
2.    Kualitas mencakup produk, jasa, manusia, proses dan lingkungan.

Kualitas merupakan kondisi yang selalu berubah (misalnya apa yang dianggap berkualitas menjadi kurang berkualitas pada masa mendatang).

Pengertian Layanan Publik
Sesungguhnya yang menjadi produk dari organisasi pemerintahan adalah pelayanan masyarakat (publik service). Pelayanan tersebut diberikan untuk memenuhi hak masyarakat, baik itu merupakan layanan civil maupun layanan publik. Artinya kegiatan pelayanan pada dasarnya menyangkut pemenuhan suatu hak. Ia melekat pada setiap orang, baik secara pribadi maupun berkelompok (organisasi), dan dilakukan secara universal.

Hal ini seperti yang diungkapkan oleh Moenir (1998:41) bahwa “hak atas pelayanan itu sifatnya sudah universal, berlaku terhadap siapa saja yang berkepentingan atas hak itu, dan oleh organisasi apa pun juga yang tugasnya menyelenggarakan pelayanan.” Tugas pemerintah adalah untuk melayani dan mengatur masyarakat, menurut Thoha (1995:4) bahwa :Tugas pelayan lebih menekankan kepada mendahulukan kepentingan umum, mempermudah urusan publik, memperisngkat waktu proses pelaksanaan urusan publik. Sedangkan tugas mengatur lebih menekankan kepada kekuasan atau power yang melekat pada posisi jabatan birokrasi

Paradigm Pelayanan Publik Customer driven Government

Menurut Lembaga Administrasi Negara (2003 : 27) pada dasarnya terdapat dua paradigma dalam pelayanan publik  pertama adalah paradigma pelayanan publik yang berorientasi pada pengelola pelayanan. Paradigma ini lebih bersifat birokratis, direktif, dan hanya memperhatikan / mengutamakan kepentingan pimpinan / organisasi pelayanan itu sendiri. Paradigma ini banyak mendapat keluhan dari masyarakat pengguna layanan karena kurang memperhatikan kepentingan masyarakat pengguna layanannya. Masyarakat sebagai pengguna layanan tidak memiliki kemampuan apapun untuk berkreasi, suka tidak suka, mau tidak mau, mereka harus tunduk kepada pengelola pelayanan. Seharusnya pelayanan publik dikelola dengan paradigma yang bersifat supportif dimana lebih memfokuskan diri pada kepentingan masyarakat pengguna layanan, pengelola harus mampu bersikap menjadi pelayan yang sadar untuk melayani dan bukan dilayani.

Paradigma kedua merupakan paradigma yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu paradigma pelayanan publik yang terfokus / berorientasi pada kepuasan pengguna layanan (customer driven government).

Customer driven government merupakan prinsip ke-enam dari sepuluh prinsip mewirausahakan birokrasi yang diajukan oleh David Osborne dan Ted Gaebler (1992 : 191). Prinsip ini menguraikan bahwa pemerintahan yang berorientasi pelanggan adalah pemerintah yang memenuhi kebutuhan pengguna layanannya, bukan birokrasi.

Kebanyakan organisasi pemerintah bahkan tidak tahu siapa pengguna layanan mereka. Mengapa demikian? Menurut Osborne dan Gaebler, logikanya sederhana, karena sebagian besar badan pemerintah tidak memperoleh dananya dari pengguna layanan (secara langsung).  Disamping itu sebagian pelanggan mereka bersifat captive, pelanggan ‘paksa’, singkatnya para pengguna layanan mempunyai sedikit alternatif terhadap pelayanan yang disediakan oleh pemerintah. Oleh karena itu birokrasi sering mengabaikan para pengguna layanannya. Birokrat menganggap bahwa pelanggan mereka adalah eksekutif dan legislatif, karena dari sanalah mereka memperoleh dana secara langsung. Para pejabat birokrat yang diangkat, pada gilirannya, lebih berorientasi pada pejabat yang mengangkatnya atau kelompok kepentingan / partai. Jadi, sementara bisnis bersungguh-sungguh menyenangkan pelanggan, badan pemerintah mati-matian untuk menyenangkan kelompok kepentingan.

Budiono (2003 : 3) mendefinisikan pemerintah yang berorientasi pelanggan (customer driven government) yaitu pemerintah yang meletakkan pengguna layanan sebagai hal yang paling depan. Oleh karena itu, kepuasan pengguna layanan ditempatkan sebagai sasaran penyampaian tujuan, dengan mendengarkan suara pengguna layanan. Dengan memperhatikan kebutuhan dasar pengguna layanan, pemerintah lebih responsif dan inovatif. 

Lembaga Administrasi Negara (2003 : 27) memberikan ciri-ciri dari paradigma pelayanan customer driven government, antara lain sebagai berikut : (1) lebih fokus pada kegiatan fasilitasi untuk berkembangnya iklim yang kondusif bagi kegiatan pelayanan masyarakat; (2) lebih fokus pada pemberdayaan masyarakat; (3) fokus pada pencapaian visi, misi, tujuan, sasaran dan hasil (outcomes); (4) fokus pada kebutuhan dan keinginan masyarakat; (5) pada hal tertentu, organisasi pemberi layanan juga berperan untuk memperoleh pendapatan dari pelayanan yang dilaksanakan; (6) fokus pada antisipasi terhadap permasalahan pelayanan; dan (7) lebih mengutamakan desentralisasi dalam pelaksanaan pelayanan.

Berdasarkan uraian di atas, maka paradigma customer driven government adalah paradigma pelayanan publik yang menempatkan pengguna layanan sebagai hal yang terdepan dan merupakan fokus terpenting dari penyelenggaraan suatu pelayanan atau lebih populer dengan istilah “putting the customer on the driver seat”.


Tugas Pokok Pemerintahan Modern : Pelayanan Kepada Masyarakat


Beberapa pakar dan teoritisi administrasi berpendapat bahwa peranan pemerintah harus terfokuskan pada upaya meningkatkan pelayanan kepada masyarakat selain pemberdayaan dan pembangunan. Tugas pokok pemerintahan modern menurut Rasyid (1997, 11) pada hakekatnya adalah pelayanan kepada masyarakat, dengan kata lain, ia tidak diadakan untuk melayani dirinya sendiri, tetapi untuk melayani masyarakat serta menciptakan kondisi yang memungkinkan setiap anggota masyarakat mengembangkan kemampuan dan kreativitasnya demi tercapainya tujuan bersama.

Seiring dengan dinamika dan kompleksnya tuntutan pelayanan kepada masyarakat, pemerintah tidak lagi dapat mengklaim dirinya sebagai satu-satunya sumber kekuasaan yang absah. Paradigma pemerintah sebagai a governing process ditandai oleh praktek pemerintahan yang berdasarkan pada konsensus-konsensus etis antara pemimpin dengan masyarakat. Pemerintahan dijalankan berdasarkan kesepakatan-kesepakatan yang terbentuk melalui diskusi dan diskursus yang berlangsung dalam ruang publik. Kedaulatan rakyat sebagai sebuah konsep dasar tentang kekuasaan telah menemukan bentuknya disini (ibid, 20). Dalam konteks ini, penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan dan pelayanan publik tidak semata-mata didasarkan pada pemerintah, tetapi dituntut adanya keterlibatan seluruh elemen, baik intern birokrasi, maupun masyarakat dan pihak swasta. Pemikiran tersebut hanya akan terwujud manakala pemerintah didekatkan dengan yang diperintah, atau dengan kata lain terjadi desentralisasi dan otonomi daerah. 

Dampak reformasi yang terjadi di Indonesia, ditinjau dari segi politik dan ketatanegaraan, adalah terjadinya pergeseran paradigma dan sistem pemerintahan yang bercorak monolitik sentralistik di pemerintah pusat ke arah sistem pemerintahan yang desentralistik (lokal democrasi) di pemerintah daerah (Utomo, 2002). Pemerintahan semacam ini memberikan keleluasaan kepada Daerah dalam wujud “Otonomi Daerah” yang luas dan bertanggung jawab, untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat, berdasarkan prinsip-prinsip demokrasi, peran serta, prakarsa dan aspirasi masyarakat sendiri atas dasar pemerataan dan keadilan, serta sesuai dengan kondisi, potensi dan keragaman daerah.

Otonomi Daerah sebagai wujud pelaksanaan asas desentralisasi dalam penyelenggaraan pemerintahan yang digulirkan oleh Pemerintah sebagai jawaban atas tuntutan masyarakat, pada hakekatnya merupakan penerapan konsep teori areal division of power yang membagi kekuasaan negara secara vertikal. Dalam konteks ini, kekuasaan akan terbagi antara pemerintah pusat di satu pihak dan pemerintah daerah di lain pihak, yang secara legal konstitusional tetap dalam kerangka negara kesatuan republik Indonesia. Kondisi ini membawa implikasi terhadap perubahan paradigma pembangunan yang dewasa ini diwarnai dengan isyarat globalisasi. Konsekuensinya, berbagai kebijakan publik dalam kegiatan pemerintahan, pembangunan dan pelayanan publik menjadi bagian dari dinamika yang harus direspons dalam kerangka proses demokratisasi, pemberdayaan masyarakat dan kemandirian lokal.

 

Copyright © tentang pelayanan publik. Template created by Volverene from Templates Block
WP by Simply WP | Solitaire Online