usai sholat subuh, muncul lagi niat untuk menulis postingan lagi. setelah cari-cari bahan, akhirnya ketemu satu bahan yg cukup menarik untuk diposting. untuk postingan kali ini saya tertarik dgn pokok bahasan teori konsep dari kualitas pelayanan publik.
kita mulai dari teori konsep tentang kualitas. menurut goetsh dan davis (dalam tjiptono, 1996:51) mengartikan kualitas sebagai suatu kondisi dinamis yang berhubungan dengan produk, jasa, manusia, proses dan lingkungan yang memenuhi atau melebihi harapan. berbeda halnya dengan ibrahim (1997:1) yang mendefinisikan kualitas sebagai suatu strategi dasar bisnis yang menghasilkan barang dan jasa yang memenuhi kebutuhan dan kepuasan internal dan eternal, secara eplixit dan implisit.
sedangkan gazpersz (1997:4) membedakan pengertian kualitas dalam dua pengertian, yaitu :
definisi konvensional dan definisi strategik. definisi konvensional dari kualitas biasanya menggambarkan karakteristik langsung dari suatu produk seperti : performansi (performance), keandalan (reliability), mudah dalam penggunaan (easy of use), estetika (esthetics) dan sebagainya. sedangkan definsi strategik menyatakan bahwa kualitas adalah segala sesuatu yang mampu memenuhi keinginan atau kebutuhan pelanggan (meeting the needs of costumers).
mengacu kepada kedua definisi tersebut, sehingga menurut gaspersz (1997:5) bahwa :
pada dasarnya kualitas mengacu kepada keistimewaan pokok, baik keistimewaan langsung maupun keistimewaan aktraktif yang memenuhi keinginan dan kepuasan pelanggan serta segala sesuatu yang bebas dari kekurangan dan kerusakan.
sedangkan triguno (1997:76) mendefinisikan kualitas sebagai :
suatu standar yang harus dicapai oleh seorang/kelompok/lembaga/ organisasi mengenai kualitas sumber daya manusia, kualitas cara kerja, proses dan hasil kerja atau produk yang berupa barang dan jasa. selanjutnya ia juga mengatakan bahwa berkualitas mempunyai arti memuaskan kepada yang dilayani, baik internal maupun eksternal, dalam arti optimal pemenuhan atas tuntutan/persyaratan pelanggan/masyarakat.
garvin (dalam lovelock, 1994; ross, 1993) memahami perbedaan pengertian kualitas dari berbagai ahli, karena itu garvin mengelompokkan pengertian kualitas tersebut dalam lima perspektif, dimana kelima macam perspektif inilah yang bisa menjelaskan mengapa kualitas bisa diartikan secara beraneka ragam oleh orang yang berbeda dalam situasi yang berlainan. kelima macam perspektif kualitas tersebut menurut garvin adalah sebagai berikut :
1. transcedental approach, yang memandang kualitas sebagai innate excellence, dimana kualitas dapat dirasakan atau diketahui, tetapi sulit didefinisikan dan dioperasionalkan.
2. product based approach, yang menganggap bahwa kualitas merupakan karakteristik atau atribut yang dapat dikuantifikasikan dan dapat diukur.
3. user based approach, yang memandang bahwa kualitas tergantung kepada orang yang memandangnya, sehingga produk yang paling memuaskan preferensi seseorang merupakan produk yang berkualitas paling tinggi.
4. manufacturing based approach, yang memandang bahwa kualitas sebagai kesesuaian/sama dengan persyaratan (comformance to requirements). dalam sektor jasa, dapat dikatakan bahwa kualitasnya bersifat operations driven.
5. value based approach, yang memandang kualitas dari segi nilai dan harga dengan mempertimbangkan trade off antara kinerja dan harga, kualitas didefinisikan sebagai "affordable exellence".
berdasarkan uraian di atas, garvin menyimpulkan bahwa pada hakekatnya kualitas akan mengacu pada kreteria sebagai berikut :
1) kondisi produk/jasa
2) strategi dasar yang menghasilkan jasa
3) karakerisitik produk
4) keistimewaan produk yang bebas dari kekurangan dan kerusakan
5) standard yang harus dicapai.
kelima kriteria tersebut pada akhirnya diarahkan untuk memenuhi dan memuaskan pelanggan/consumer atau masyarakat. dalam hal ini kualitas suatu produk atau jasa hanya dapat ditentukan oleh pelanggan sendiri, karena merekalah yang merasakan produk atau jasa yang dihasilkan oleh suatu organisasi baik bisnis maupun publik. oleh karena itu kualitas selalu berfokus pada pelanggan (custumer focused quality).
kualitas pada dasarnya terkait dengan pelayanan yang terbaik, yaitu suatu sikap atau cara karyawan dalam melayani pelanggan atau masyarakat secara memuaskan. menurut triguno (1997:78) pelayanan yang terbaik, yaitu "melayani setiap saat, secara cepat dan memuaskan, berlaku sopan, ramah dan menolong, serta profesional dan mampu".
sedangkan menurut tjiptono (1996:58) secara garis besar ada empat unsur pokok yang terkandung di dalam pelayanan yang unggul (service excellence), yaitu :
1. kecepatan.
2. ketepatan.
3. keramahan.
4. kenyamanan.
keempat komponen tersebut merupakan satu kesatuan yang terintegrasi, artinya pelayanan menjadi tidak excellence bila ada komponen yang kurang. kualitas jasa atau layanan yang baik akan dapat memberikan kepuasan kepada masyarakat, yang pada akhirnya akan menciptakan loyalitas masyarakat kepada organisasi (institusi) yang bersangkutan.
selanjutnya wyckof (dalam tjiptono, 1996:59) mengartikan kualitas jasa atau layanan, yaitu :
tingkat keunggulan yang diharapkan dan pengendalian atas tingkat keunggulan tersebut untuk memenuhi keinginan pelanggan". ini berarti, bila jasa atau layanan yang diterima (perceived service) sesuai dengan diharapkan, maka kualitas jasa atau layanan dipersepsikan baik dan memuaskan, jika kualitas jasa atau layanan yang diterima lebih rendah dari yang diharapkan, maka kualitas jasa atau layanan akan dipersepsikan buruk.
dengan demikian, fungsi pemerintah bukan hanya terbatas pada aktivitas pemberian pelayanan kepada masyarakat, tetapi juga harus menjamin bahwa pelayanan yang diberikan kepada masyarakat tersebut betul-betul berkualitas.
berdasarkan sendi-sendi kualitas pelayanan kepada masyarakat tersebut, maka secara umum sendi-sendir tersebut telah mencerminkan karakteristik pelayanan yang diinginkan pelanggan yaitu pelayanan yang lebih cepat (faster), lebih murah (cheaper) dan lebih baik (better) (gazperzs, 1997:12)
JUAL OLEH OLEH KHAS BANJARMASIN KALIMANTAN SELATAN
KLIK DISINI AJA YA >>> BUNGAS LANGKAR ONLINE STORE
skip to main |
skip to sidebar
SHOPEE
teori konsep kualitas pelayanan publik
Diposting oleh
syamsuri12
di
14.37
2
komentar
Kirimkan Ini lewat Email
BlogThis!
Bagikan ke X
Berbagi ke Facebook
pemerintah dan pelayanan publik
tujuan utama dibentuknya pemerintahan adalah untuk menjaga suatu sistem ketertiban didalam mana masyarakat bisa menjalani kehidupan secara wajar. pemerintahan modern pada hakekatnya adalah pelayanan kepada masyarakat. pemerintah tidaklah diadakan untuk melayani dirinya sendiri, tetapi untuk melayani masyarakat, menciptakan kondisi yang memungkinkan setiap anggota masyarakat mengembangkan kemampuan dan kreativitasnya demi mencapai kemajuan bersama.
dalam ilmu pemerintahan, ndraha (2000:7) mengemukakan bahwa: sebagai unit kerja publik, pemerintah bekerja guna memenuhi (memproduksi, mentransfer, mendistribusikan) dan melindungi kebutuhan, kepentingan dan tuntutan pihak yang diperintah sebagai konsumer dan sovereign, akan jasa-publik dan layanan civil, dalam hubungan pemerintahan.
dengan demikian, masyarakat sebagai konsumer produk-produk pemerintahan berhadapan dengan pemerintah sebagai produser dan distributor dalam posisi sejajar, yang satu tidak berada dibawah yang lain. oleh karena itu posisi yang diperintah sebagai konsumer erat sekali berkaitan dengan posisi sovereign. melalui posisi sebagai sovereign, masyarakat memesan, mengamanatkan, menuntut dan mengontrol pemerintah, sehingga jasa publik dan layanan civil bisa dirasakan oleh setiap orang pada saat dibutuhkan dalam jumlah dan mutu yang memadai.
lebih lanjut ndraha (1999:58) mengemukakan bahwa : public dalam public policy yang menjadi dasar bagi pelayanan-publik adalah hal yang menyangkut kepentingan masyarakat umum. berbeda dengan jasa-pasar yang dapat dijual-belikan menurut mekanisme pasar (misalnya jasa bank, jasa swasta, jasa dokter), jasa publik (produk yang menyangkut kebutuhan hidup orang banyak, dari masyarakat lapisan bawah, seperti air minum, jalan raya, listrik, telkom, proses produksinya disebut pelayanan-publik) diproduksi dan dijual-belikan dibawah kontrol pemerintah.
untuk mengetahui ukuran yang dipertimbangkan publik dalam menilai kualitas pelayanan, rene t. domingo dalam triguno (1999:77) mengemukakan bahwa “ dimensi kualitas pelayanan dapat dikur melalui waktu, ketepatan, kehormatan, kepekaan, kelengkapan, kesiapan, kenyamanan dan lingkungan ”.
sedangkan gaspersz dalam lukman (1998:8) mengemukakan dimensi kualitas pelayanan meliputi :
1. ketepatan waktu pelayanan
2. akurasi pelayanan
3. kesopanan, keramahan dalam memberikan pelayanan
4. tanggung jawab
5. kelengkapan
6. kemudahan mendapatkan pelayanan
7. variasi model pelayanan
8. pelayanan pribadi
9. kenyamanan dalam memperoleh pelayanan dan
10. atribut pendukung pelayanan lainnya.
bahwa terdapat perbedaan antara pelayanan dengan layanan, sebagaimana dijelaskan ndraha (1998:6) “ pelayanan (proses) meliputi input, proses, output dan outcome sedangkan layanan (output) hanya mencakup output dan outcome saja”. berdasarkan pemahaman tersebut, maka dalam penelitian ini yang menjadi fokus kajian adalah outputnya saja (layanan).
pelayanan kepada masyarakat merupakan suatu bentuk interaksi atau hubungan antara penyedia layanan dan penerima layanan. dengan kata lain dalam hubungan pemerintahan terkandung makna adanya organisasi yang memerintah dan masyarakat yang diperintah.
birokrasi merupakan organisasi atau unit kerja publik yang berfungsi sebagai provider layanan. konsep birokrasi yang banyak diterima sampai sekarang adalah teori yang dikembangkan oleh max weber yang mendefinisikan karakteristik suatu organisasi yang memaksimumkan stabilitas dan untuk mengendalikan anggota organisasi dalam rangka mencapai tujuan bersama.
sebagaimana dikemukan gibson, et, al, (1989:391) bahwa : birokrasi (berdasarkan konsep weber) lebih unggul dari setiap bentuk apapun juga dalam hal ketepatan stabilitas, disiplin dan kepercayaan. sehingga birokrasi memungkinkan untuk dapat mencapai efisiensi dan efektivitas.
tipe ideal birokrasi yang digambarkan weber tersebut dirangkum oleh martin albrow dalam warwick (1975:4) pada empat ciri utama, yaitu :
1#
adanya suatu struktur hirarkis yang melibatkan pendelegasian wewenang dari atas ke bawah dalam organisasi (a hierarchical structure involving delegation of authority from the top to the bottom of an organization)
2#
adanya posisi-posisi atau jabatan-jabatan yang masing-masing memiliki tugas dan tanggung jawab yang tegas (a series of official positions or offices, each having prescribed duties and responsibilities)
3#
adanya aturan-aturan, regulasi-regulasi dan standar-standar formal yang mengatur tata kerja organisasi dan tingkah laku para anggotanya (formal rules, regulations and standards governing operations of the organization and behavior of its members)
4#
adanya personil yang secara teknis memenuhi syarat, yang dipekerjakan atas dasar karir, dengan promosi yang didasarkan pada kualifikasi dan penampilan (technically qualified personel employed an a career basis, with promotion based on qualifications and performance)
pemahaman yang sama dikemukakan oleh moorhead dan griffin (1992:585) bahwa : birokrasi adalah struktur organisasi yang diperkenalkan oleh weber dengan karakteristik adanya hirarki wewenang, sistem prosedur, peraturan, dan pembagian kerja. konsep birokrasi yang dikemukakan weber pada dasarnya mencakup logika, rasionalitas, dan efisiensi, karena merupakan suatu pendekatan yang paling efisien.
sedang benveniste (1987:6) mendefinisikan : birokrasi sebagai suatu organisasi besar dimana peraturan-peraturan dan rutinitas digunakan secara berlebihan, disamping juga terlalu tingginya tingkat hirarki, sehingga karyawan diarahkan menangani pekerjaan yang terspesialisasi dan dilakukan berulang-ulang, disamping juga organisasi dibagi ke dalam unit-unit kecil sehingga struktur organisasi menjadi kompleks dengan pembuatan keputusan yang berkepanjangan.
selanjutnya thoha (1995:181) menjelaskan bahwa “ kualitas layanan sangat tergantung pada bagaimana pelayanan itu diberikan oleh anggota dan sistem yang dipakai dalam organisasi”. artinya aktivitas organisasi adalah aktivitas orang-orang, sedangkan orang atau manusia adalah unsur utama dalam setiap organisasi. sebagaimana dikemukakan winardi (1989:1) bahwa : organisasi-organisasi di bentuk oleh manusia untuk mencapai tujuan atau sasaran-sasaran tertentu, dan oleh karena komponen pokok organisasi adalah manusia maka sebenarnya perilaku organisasi tidak lain dari perilaku manusia di dalam organisasi yang bersangkutan.
berkenaan dengan konsep perilaku tersebut ndraha (1999:65) menjelaskan bahwa perilaku adalah : operasionalisasi dan aktualisasi sikap seseorang atau suatu kelompok dalam atau terhadap suatu (situasi dan kondisi) lingkungan (masyarakat, alam, teknologi atau organisasi), sementara sikap adalah operasionalisasi dan aktualisasi pendirian.
hal yang sama dikemukakan pula oleh paramita (1985:10) dalam penelitiannya mengenai struktur organisasi di indonesia, bahwa : posisi semua dimensi struktur organisasi tertentu akan berbentuk gambaran strukturnya, sehingga mungkin untuk memberi ciri pada organisasi berdasarkan gambaran strukturnya dan aktivitas anggotanya.
untuk itu terdapat beberapa dimensi yang dapat digunakan untuk mengukur tingkat perilaku birokrasi suatu organisasi, sebagaimana gibson, et, al, (1989:340) mengemukakan bahwa : walaupun sulit untuk mendapatkan pemahaman yang universal tentang dimensi struktural organisasi, namun ada beberapa dimensi yang selalu mencul dari beberapa pengertian birokrasi suatu organisasi, yaitu formalisasi, sentralisasi dan kompleksitas.
menurut ndraha (1989:63) “laku yang rasional disebut aktivitas, dan aktivitas mempengaruhi, baik produktivitas maupun kualitas hidup manusia yang bersangkutan”. oleh karena satuan perilaku yang utama adalah aktivitas, maka perilaku birokrasi yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah operasionalisasi dan aktualisasi sikap aparatus yang tampak dalam aktivitas pekerjaannya.
CARI OLEH OLEH KHAS BANJARMASIN KALIMANTAN SELATAN ?
Cari di Tokopedia Aja Ya... Klik Disini >>> Bungas Langkar Online Store
dalam ilmu pemerintahan, ndraha (2000:7) mengemukakan bahwa: sebagai unit kerja publik, pemerintah bekerja guna memenuhi (memproduksi, mentransfer, mendistribusikan) dan melindungi kebutuhan, kepentingan dan tuntutan pihak yang diperintah sebagai konsumer dan sovereign, akan jasa-publik dan layanan civil, dalam hubungan pemerintahan.
dengan demikian, masyarakat sebagai konsumer produk-produk pemerintahan berhadapan dengan pemerintah sebagai produser dan distributor dalam posisi sejajar, yang satu tidak berada dibawah yang lain. oleh karena itu posisi yang diperintah sebagai konsumer erat sekali berkaitan dengan posisi sovereign. melalui posisi sebagai sovereign, masyarakat memesan, mengamanatkan, menuntut dan mengontrol pemerintah, sehingga jasa publik dan layanan civil bisa dirasakan oleh setiap orang pada saat dibutuhkan dalam jumlah dan mutu yang memadai.
lebih lanjut ndraha (1999:58) mengemukakan bahwa : public dalam public policy yang menjadi dasar bagi pelayanan-publik adalah hal yang menyangkut kepentingan masyarakat umum. berbeda dengan jasa-pasar yang dapat dijual-belikan menurut mekanisme pasar (misalnya jasa bank, jasa swasta, jasa dokter), jasa publik (produk yang menyangkut kebutuhan hidup orang banyak, dari masyarakat lapisan bawah, seperti air minum, jalan raya, listrik, telkom, proses produksinya disebut pelayanan-publik) diproduksi dan dijual-belikan dibawah kontrol pemerintah.
untuk mengetahui ukuran yang dipertimbangkan publik dalam menilai kualitas pelayanan, rene t. domingo dalam triguno (1999:77) mengemukakan bahwa “ dimensi kualitas pelayanan dapat dikur melalui waktu, ketepatan, kehormatan, kepekaan, kelengkapan, kesiapan, kenyamanan dan lingkungan ”.
sedangkan gaspersz dalam lukman (1998:8) mengemukakan dimensi kualitas pelayanan meliputi :
1. ketepatan waktu pelayanan
2. akurasi pelayanan
3. kesopanan, keramahan dalam memberikan pelayanan
4. tanggung jawab
5. kelengkapan
6. kemudahan mendapatkan pelayanan
7. variasi model pelayanan
8. pelayanan pribadi
9. kenyamanan dalam memperoleh pelayanan dan
10. atribut pendukung pelayanan lainnya.
bahwa terdapat perbedaan antara pelayanan dengan layanan, sebagaimana dijelaskan ndraha (1998:6) “ pelayanan (proses) meliputi input, proses, output dan outcome sedangkan layanan (output) hanya mencakup output dan outcome saja”. berdasarkan pemahaman tersebut, maka dalam penelitian ini yang menjadi fokus kajian adalah outputnya saja (layanan).
pelayanan kepada masyarakat merupakan suatu bentuk interaksi atau hubungan antara penyedia layanan dan penerima layanan. dengan kata lain dalam hubungan pemerintahan terkandung makna adanya organisasi yang memerintah dan masyarakat yang diperintah.
birokrasi merupakan organisasi atau unit kerja publik yang berfungsi sebagai provider layanan. konsep birokrasi yang banyak diterima sampai sekarang adalah teori yang dikembangkan oleh max weber yang mendefinisikan karakteristik suatu organisasi yang memaksimumkan stabilitas dan untuk mengendalikan anggota organisasi dalam rangka mencapai tujuan bersama.
sebagaimana dikemukan gibson, et, al, (1989:391) bahwa : birokrasi (berdasarkan konsep weber) lebih unggul dari setiap bentuk apapun juga dalam hal ketepatan stabilitas, disiplin dan kepercayaan. sehingga birokrasi memungkinkan untuk dapat mencapai efisiensi dan efektivitas.
tipe ideal birokrasi yang digambarkan weber tersebut dirangkum oleh martin albrow dalam warwick (1975:4) pada empat ciri utama, yaitu :
1#
adanya suatu struktur hirarkis yang melibatkan pendelegasian wewenang dari atas ke bawah dalam organisasi (a hierarchical structure involving delegation of authority from the top to the bottom of an organization)
2#
adanya posisi-posisi atau jabatan-jabatan yang masing-masing memiliki tugas dan tanggung jawab yang tegas (a series of official positions or offices, each having prescribed duties and responsibilities)
3#
adanya aturan-aturan, regulasi-regulasi dan standar-standar formal yang mengatur tata kerja organisasi dan tingkah laku para anggotanya (formal rules, regulations and standards governing operations of the organization and behavior of its members)
4#
adanya personil yang secara teknis memenuhi syarat, yang dipekerjakan atas dasar karir, dengan promosi yang didasarkan pada kualifikasi dan penampilan (technically qualified personel employed an a career basis, with promotion based on qualifications and performance)
pemahaman yang sama dikemukakan oleh moorhead dan griffin (1992:585) bahwa : birokrasi adalah struktur organisasi yang diperkenalkan oleh weber dengan karakteristik adanya hirarki wewenang, sistem prosedur, peraturan, dan pembagian kerja. konsep birokrasi yang dikemukakan weber pada dasarnya mencakup logika, rasionalitas, dan efisiensi, karena merupakan suatu pendekatan yang paling efisien.
sedang benveniste (1987:6) mendefinisikan : birokrasi sebagai suatu organisasi besar dimana peraturan-peraturan dan rutinitas digunakan secara berlebihan, disamping juga terlalu tingginya tingkat hirarki, sehingga karyawan diarahkan menangani pekerjaan yang terspesialisasi dan dilakukan berulang-ulang, disamping juga organisasi dibagi ke dalam unit-unit kecil sehingga struktur organisasi menjadi kompleks dengan pembuatan keputusan yang berkepanjangan.
selanjutnya thoha (1995:181) menjelaskan bahwa “ kualitas layanan sangat tergantung pada bagaimana pelayanan itu diberikan oleh anggota dan sistem yang dipakai dalam organisasi”. artinya aktivitas organisasi adalah aktivitas orang-orang, sedangkan orang atau manusia adalah unsur utama dalam setiap organisasi. sebagaimana dikemukakan winardi (1989:1) bahwa : organisasi-organisasi di bentuk oleh manusia untuk mencapai tujuan atau sasaran-sasaran tertentu, dan oleh karena komponen pokok organisasi adalah manusia maka sebenarnya perilaku organisasi tidak lain dari perilaku manusia di dalam organisasi yang bersangkutan.
berkenaan dengan konsep perilaku tersebut ndraha (1999:65) menjelaskan bahwa perilaku adalah : operasionalisasi dan aktualisasi sikap seseorang atau suatu kelompok dalam atau terhadap suatu (situasi dan kondisi) lingkungan (masyarakat, alam, teknologi atau organisasi), sementara sikap adalah operasionalisasi dan aktualisasi pendirian.
hal yang sama dikemukakan pula oleh paramita (1985:10) dalam penelitiannya mengenai struktur organisasi di indonesia, bahwa : posisi semua dimensi struktur organisasi tertentu akan berbentuk gambaran strukturnya, sehingga mungkin untuk memberi ciri pada organisasi berdasarkan gambaran strukturnya dan aktivitas anggotanya.
untuk itu terdapat beberapa dimensi yang dapat digunakan untuk mengukur tingkat perilaku birokrasi suatu organisasi, sebagaimana gibson, et, al, (1989:340) mengemukakan bahwa : walaupun sulit untuk mendapatkan pemahaman yang universal tentang dimensi struktural organisasi, namun ada beberapa dimensi yang selalu mencul dari beberapa pengertian birokrasi suatu organisasi, yaitu formalisasi, sentralisasi dan kompleksitas.
menurut ndraha (1989:63) “laku yang rasional disebut aktivitas, dan aktivitas mempengaruhi, baik produktivitas maupun kualitas hidup manusia yang bersangkutan”. oleh karena satuan perilaku yang utama adalah aktivitas, maka perilaku birokrasi yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah operasionalisasi dan aktualisasi sikap aparatus yang tampak dalam aktivitas pekerjaannya.
CARI OLEH OLEH KHAS BANJARMASIN KALIMANTAN SELATAN ?
Cari di Tokopedia Aja Ya... Klik Disini >>> Bungas Langkar Online Store
Diposting oleh
syamsuri12
di
13.56
0
komentar
Label:
pelayanan publik,
pemerintah
Kirimkan Ini lewat Email
BlogThis!
Bagikan ke X
Berbagi ke Facebook
bagaimana gambaran dari proses pelayanan publik
dalam kajian ilmu pengetahuan, konsep pelayanan publik sebenarnya bukan merupakan konsep yang baru, secara filosofi kemunculan ilmu administrasi negara sebetulnya terkait erat dengan konsep pelayanan publik. nicholy henry (1988:22) mengemukakan bagaimana hubungan administrasi negara dengan kepentingan publik. dalam bahasan tersebut henry menyimpulkan bahwa tuntutan terhadap peran administration (birokrasi) dalam pelayanan publik telah menjadi kajian yang sangat filosofis dan berumur panjang jauh sebelum ilmu administrasi negara itu sendiri muncul dan berkembang. dari analisisnya henry mengemukakan konklusi bahwa sesungguhnya pelayanan publik merupakan jiwa dasar dari penyelenggaraan administrasi negara. dalam hubungan ini dapat dipahami jika kehidupan manusia diwarnai oleh tuntutan terhadap pemenuhan kebutuhan hidupnya. pemenuhan kebutuhan hidup terebut ada yang diperoleh melalui mekanisme pasar dan ada pula yang diperoleh tidak melalui mekanisme pasar.
kebutuhan manusia yang tidak dapat diperoleh melalui mekanisme pasar antara lain adalah layanan civil yang hanya disediakan oleh pemerintah. layanan civil tersebut diberikan oleh pemerintah atas dasar “civil right” yang dimiliki oleh setiap warga negara.
dalam situasi seperti ini tentunya menjadi tugas pemerintah untuk mewujudkan pelayanan itu. dalam hal ini pemerintah adalah lembaga yang memproduksi, mendistribusikan atau memberikan alat pemenuhan kebutuhan rakyat yang berupa pelayanan publik. dengan demikian secara eksplisit dapat dikatakan bahwa pemberian pelayanan publik merupakan jenis pelayanan yang dimonopoli oleh pemerintah. hal ini dapat dipahami mengingat pelayanan civil merupakan bagian dari fungsi pemerintah yang memberikan pelayanan kepada masyarakat.
sebagai fungsi pemerintah maka pelayanan publik tidak hanya semata bersifat “profit orientied” tetapi lebih beorientasi sosial, yaitu penguatan dan pemberdayaan masyarakat. karena itu penentuan dari proses pelayanan publik tidak bisa dilakukan dengan pendekatan bisnis, tetapi pendekatan yang paling tepat adalah pendekatan sosial (social approach), karena yang paling tahu akan baiknya pelayanan yang diberikan adalaha masyarakat.
seiring dengan peningkatan kehidupan manusia, maka tuntutan akan pelayanan publik semakin meningkat, dimana masyarakat bukan hanya mengharapkan terpenuhinya kebutuhan akan pelayanan yang baik dari pemerintah, tetapi lebih dari itu masyarakat mulai mempertanyakan kualitas pelayanan publik yang diberikan oleh pemerintah.
kualitas pada dasarnya terkait dengan pelayanan yang terbaik, yaitu suatu sikap atau cara aparat dalam melayani pelanggan atau masyarakat secara memuaskan, menurut saefullah (1999:9) bahwa “penilaian tentang kualitas pelayanan bukan berdasarkan pengakuan dari yang memberi pelayanan, tetapi diberikan oleh langganan atau pihak yang menerima pelayanan“. sedangkan menurut triguno (1997:78) pelayan terbaik yaitu melayani setiap saat, secara cepat dan memuaskan, berlaku sopan, ramah dan menolong serta profesional dan mampu.
sementara wyckof (dalam tjiptono 1996:59) mengartikan kualitas jasa atau layanan, yaitu : tingkat keunggulan yang diharapkan dan pengendalian atas tingkat keunggulan tersebut untuk memenuhi keinginan pelanggan ini berarti, bila jasa atau layanan yang diterima (perceived service) sesuai dengan diharapkan, maka kualitas jasa atau layanan dipersepsikan baik dan memuaskan, jika kualitas jasa atau layanan yang diterima lebih rendah dari yang diharapkan, maka kualitas jasa atau layanan akan dipersepsikan buruk.
Untuk itu fungsi pemerintah bukan hanya terbatas pada aktivitas pemberian pelayanan kepada masyarakat, tetapi juga harus menjamin bahwa pelayanan yang diberikan kepada masyarakat betul-betul berkualitas.
kebutuhan manusia yang tidak dapat diperoleh melalui mekanisme pasar antara lain adalah layanan civil yang hanya disediakan oleh pemerintah. layanan civil tersebut diberikan oleh pemerintah atas dasar “civil right” yang dimiliki oleh setiap warga negara.
dalam situasi seperti ini tentunya menjadi tugas pemerintah untuk mewujudkan pelayanan itu. dalam hal ini pemerintah adalah lembaga yang memproduksi, mendistribusikan atau memberikan alat pemenuhan kebutuhan rakyat yang berupa pelayanan publik. dengan demikian secara eksplisit dapat dikatakan bahwa pemberian pelayanan publik merupakan jenis pelayanan yang dimonopoli oleh pemerintah. hal ini dapat dipahami mengingat pelayanan civil merupakan bagian dari fungsi pemerintah yang memberikan pelayanan kepada masyarakat.
sebagai fungsi pemerintah maka pelayanan publik tidak hanya semata bersifat “profit orientied” tetapi lebih beorientasi sosial, yaitu penguatan dan pemberdayaan masyarakat. karena itu penentuan dari proses pelayanan publik tidak bisa dilakukan dengan pendekatan bisnis, tetapi pendekatan yang paling tepat adalah pendekatan sosial (social approach), karena yang paling tahu akan baiknya pelayanan yang diberikan adalaha masyarakat.
seiring dengan peningkatan kehidupan manusia, maka tuntutan akan pelayanan publik semakin meningkat, dimana masyarakat bukan hanya mengharapkan terpenuhinya kebutuhan akan pelayanan yang baik dari pemerintah, tetapi lebih dari itu masyarakat mulai mempertanyakan kualitas pelayanan publik yang diberikan oleh pemerintah.
kualitas pada dasarnya terkait dengan pelayanan yang terbaik, yaitu suatu sikap atau cara aparat dalam melayani pelanggan atau masyarakat secara memuaskan, menurut saefullah (1999:9) bahwa “penilaian tentang kualitas pelayanan bukan berdasarkan pengakuan dari yang memberi pelayanan, tetapi diberikan oleh langganan atau pihak yang menerima pelayanan“. sedangkan menurut triguno (1997:78) pelayan terbaik yaitu melayani setiap saat, secara cepat dan memuaskan, berlaku sopan, ramah dan menolong serta profesional dan mampu.
sementara wyckof (dalam tjiptono 1996:59) mengartikan kualitas jasa atau layanan, yaitu : tingkat keunggulan yang diharapkan dan pengendalian atas tingkat keunggulan tersebut untuk memenuhi keinginan pelanggan ini berarti, bila jasa atau layanan yang diterima (perceived service) sesuai dengan diharapkan, maka kualitas jasa atau layanan dipersepsikan baik dan memuaskan, jika kualitas jasa atau layanan yang diterima lebih rendah dari yang diharapkan, maka kualitas jasa atau layanan akan dipersepsikan buruk.
Untuk itu fungsi pemerintah bukan hanya terbatas pada aktivitas pemberian pelayanan kepada masyarakat, tetapi juga harus menjamin bahwa pelayanan yang diberikan kepada masyarakat betul-betul berkualitas.
Diposting oleh
syamsuri12
di
14.19
2
komentar
Kirimkan Ini lewat Email
BlogThis!
Bagikan ke X
Berbagi ke Facebook
Bungas Langkar Online Store
https://shopee.co.id/bungaslangkar12