Pages

SHOPEE

BEBERAPA PENGERTIAN TERKAIT SURVEY KEPUASAN MASYARAKAT (SKM) PELAYANAN PUBLIK

Sesuai Pedoman Umum Penyusunan Survei Kepuasaan Masyarakat (SKM) terdapat beberapa pengertian yang perlu dljelaskan yaitu :
  1. Survei Kepuasan Masyarakat (SKM) adalah pengukuran secara komprehensif  kegiatan  tentang  tingkat  kepuasan  masyarakat yang diperoleh dari hasil pengukuran atas pendapat masyarakat.
  2. Penyelenggara Pelayanan Publik adalah setiap Institusi Penyelenggara Negara, Korporasi, Lembaga Independent yang dibentuk berdasarkan   Undang-Undang untuk kegiatan Pelayanan Publik, dan Badan Hukum lain yang dibentuk semata-mata untuk kegiatan Pelayanan Publik.
  3. Instansi Pemerintah adalah Instansi Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah termasuk BUMN/BUMD dan BHMN.
  4. Pelayanan Publik adalah kegiatan atau rangkaian kegiatan dalam rangka pemenuhan kebutuhan Pelayanan sesuai peraturan perundang-undangan bagi setiap warga dan penduduk atas barang, jasa, dan/atau pelayanan administratif yang    disediakan oleh penyelenggara Pelayanan Publik.
  5. Unit Pelayanan Publik adalah Unit kerja/kantor Pelayanan pada Instansi Pemerintah termasuk BUMN/BUMD dan BHMN, yang secara langsung maupun tidak langsung memberikan pelayanan kepada penerima pelayanan.
  6. Pemberi Pelayanan Publik adalah Pegawai Instansi Pemerintah yang melaksanakan tugas dan fungsi Pelayanan Publik sesuai dengan peraturan perundang undangan.
  7. Penerima Pelayanan Publik adalah orang, masyarakat, Lembaga Instansi Pemerintah dan dunia usaha, yang menerima pelayanan dari Aparatur Penyelenggara Pelayanan Publik.
  8. Kepuasaan Pelayanan adalah hasil pendapat dan penilaian masyarakat terhadap kinerja pelayanan yang diberikan oleh Aparatur Penyelenggara Pelayanan Publik.
  9. Biaya Pelayanan Publik adalah segala biaya (dengan nama atau sebutan apapun) sebagai imbal jasa atas pemberian Pelayanan Publik, yang besaran dan tata cara pembayarannya ditetapkan oleh Pejabat yang berwenang sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
  10. Unsur Pelayanan adalah Faktor atau aspek yang terdapat dalam penyelenggaraan pelayanan kepada masyarakat sebagai variabel penyusunan Survei Kepuasan Masyarakat untuk mengetahui kinerja.
  11. Responden adalah penerima Pelayanan Publik yang pada saat pencacahan sedang berada di lokasi Unit Pelayanan, atau yang pernah menerima pelayanan dari aparatur penyelenggara pelayanan.

JUAL ANEKA OLEH OLEH KHAS BANJARMASIN KALIMANTAN SELATAN
KLIK DISINI AJA YA >>> BUNGAS LANGKAR ONLINE STORE

Konsep Pelayanan Publik

Lawas tak share tulisan di blog ini. entah berapa tahun... mulai sekarang InsyaAllah saya akan kembali "rajin" share tulisan tentang pelayanan publik di blog ini....

Manajemen pelayanan publik yang diselenggarakan oleh aparatur pemerintahan dimaknai
sebagai keseluruhan kegiatan pengelolaan pelayanan oleh instansi-instansi pemerintah atau badanhukum lain milik pemerintah kepada masyarakat sesuai dengan kewenangannya, baik pelayanan yang diberikan secara langsung maupun tidak langsung melalui kebijakan-kebijakan tertentu.

Sejalan dengan perkembangan penyelenggaraan negara dan dalam upaya mewujudkan
pelayanan prima, paradigm pelayanan publik berkembang dengan fokus pengelolaan pelayanan yang berorientasi pada kepuasan pelanggan (costumer driven government), dengan ciri-ciri berikut :
  1. Lebih memfokuskan kepada fungsi pengaturan, melalui berbagai kebijakan yang memfasilitasi berkembangnya peluang yang kondusif bagi kegiatan pelayanan oleh masyarakat;
  2. Lebih memfokuskan diri pada pemberdayaan masyarakat, sehingga masyarakat mempunyai rasa memiliki yang tinggi terhadap fasilitas pelayanan yang telah dibangun bersama;
  3. Menerapkan sistem kompetisi dalam hal penyediaan pelayanan publik tertentu;
  4. Berfokus pada pencapaian visi, misi, tujuan dan sasaran yang berorientasi pada hasil (outcomes) yang sesuai dengan input yang digunakan;
  5. Lebih mengutamakan keinginan masyarakat;
  6. Dalam hal tertentu, Pemerintah berperan juga untuk memperoleh pendapatan dari kegiatan pelayanan yang dilaksanakan;
  7. Lebih mengantisipasi permasalahan pelayanan;
  8. Lebih mengutamakan desentralisasi dalam pelayanan;
  9. Menerapkan sistem pasar dalam memberikan pelayanan.
Dalam Keputusan Menteri PAN Nomor: 63/KEP/M.PAN/7/2003 tentang Pedoman Umum
penyelenggaraan Pelayanan Publik yang kemudian dicantumkan juga dalam Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara No. 25 tahun 2004 tentang pedoman umum Penyusunan indeks kepuasan Masyarakat Unit Pelayanan Instansi pemerintah disebutkan Prinsip-prinsip Pelayanan Publik :

  1.  Kesederhanaan Pelayanan. Prinsip kesederhanaan ini mengandung arti bahwa prosedur/tata cara pelayanan diselenggarakan secara mudah, lancar, cepat, tepat, tidak berbelit-belit, mudah dipahami dan mudah dilaksanakan oleh masyarakat yang meminta pelayanan.
  2. Kejelasan dan Kepastian Pelayanan. Prinsip ini mengandung arti adanya kejelasan dan kepastian mengenai : Prosedur/tata cara pelayanan, baik persyaratan teknis maupun administratif; Unit kerja dan atau pejabat yang berwenang dan bertanggung jawab dalam memberikan pelayanan; Rincian biaya/tarif pelayanan dan tata cara pembayarannya; Jadwal waktu penyelesaian pelayanan.
  3. Keamanan dalam Pelayanan. Prinsip ini mengandung arti proses serta hasil pelayanan dapat memberikan keamanan, kenyamanan dan dapat memberikan kepastian hukum bagi masyarakat.
  4. Keterbukaan dalam Pelayanan. Prinsip ini mengandung arti bahwa prosedur/tata cara, persyaratan satuan kerja/pejabat penanggung jawab pemberi pelayanan, waktu penyelesaian, rincian biaya/tarif serta hal-hal lain yang berkaitan dengan proses pelayanan wajib diinformasikan secara terbuka agar mudahdiketahui dan dipahami oleh masyarakat, baik diminta maupun tidak diminta.
  5. Efisiensi dalam Pelayanan. Prinsip ini mengandung arti : Persyaratan pelayanan hanya dibatasi pada hal-hal yang berkaitanlangsung dengan pencapaian sasaran pelayanan dengan tetap memperhatikan keterpaduan antara persyaratan dengan produk pelayanan yang diberikan.Mencegah adanya pengulanganpemenuhan persyaratan, dalam hal proses pelayanan masyarakat adanya kelengkapan persyaratan dari satuan kerja/instansi Pemerintah lain yang terkait.
  6. Ekonomis dalam Pelayanan Prinsip ini mengandung arti pengenaan biaya dalam penyelenggaraan pelayanan harus ditetapkan secara wajar dengan memperhatikan :Nilai barang dan atau jasa pelayanan masyarakat dan tidak menuntut biaya yang terlalu tinggi di luar kewajaran; Kondisi dan kemampuan masyarakat untuk membayar; dan Ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
  7. Keadilan yang Merata dalam Pelayanan. Prinsip ini mengandung arti cakupan/jangkauan pelayanan harus diusahakan seluas mungkin dengan distribusi yang merata dan diberlakukan secara adil bagi seluruh lapisan masyarakat.
  8. Ketepatan Waktu dalam Pelayanan. Prinsip ini mengandung arti pelaksanaan pelayanan masyarakat dapat diselesaikan dalam kurun waktu yang ditentukan.

CARI OLEH OLEH KHAS BANJARMASIN KALIMANTAN SELATAN
KLIK DISINI AJA YA >>> BUNGAS LANGKAR ONLINE STORE

Kualitas Layanan Publik

Pengertian Kualitas
Tjiptono (1996:51) mengemukakan bahwa secara spesifik tidak ada definisi mengenai kualitas layanan yang diterima, namun secara universal, dari definisi yang ada terdapat beberapa persamaan, yaitu dalam elemen-elemen sebagai berikut :

1.    Kualitas meliputi usaha memenuhi atau melebihi harapan pelanggan.
2.    Kualitas mencakup produk, jasa, manusia, proses dan lingkungan.

Kualitas merupakan kondisi yang selalu berubah (misalnya apa yang dianggap berkualitas menjadi kurang berkualitas pada masa mendatang).

Pengertian Layanan Publik
Sesungguhnya yang menjadi produk dari organisasi pemerintahan adalah pelayanan masyarakat (publik service). Pelayanan tersebut diberikan untuk memenuhi hak masyarakat, baik itu merupakan layanan civil maupun layanan publik. Artinya kegiatan pelayanan pada dasarnya menyangkut pemenuhan suatu hak. Ia melekat pada setiap orang, baik secara pribadi maupun berkelompok (organisasi), dan dilakukan secara universal.

Hal ini seperti yang diungkapkan oleh Moenir (1998:41) bahwa “hak atas pelayanan itu sifatnya sudah universal, berlaku terhadap siapa saja yang berkepentingan atas hak itu, dan oleh organisasi apa pun juga yang tugasnya menyelenggarakan pelayanan.” Tugas pemerintah adalah untuk melayani dan mengatur masyarakat, menurut Thoha (1995:4) bahwa :Tugas pelayan lebih menekankan kepada mendahulukan kepentingan umum, mempermudah urusan publik, memperisngkat waktu proses pelaksanaan urusan publik. Sedangkan tugas mengatur lebih menekankan kepada kekuasan atau power yang melekat pada posisi jabatan birokrasi

Paradigm Pelayanan Publik Customer driven Government

Menurut Lembaga Administrasi Negara (2003 : 27) pada dasarnya terdapat dua paradigma dalam pelayanan publik  pertama adalah paradigma pelayanan publik yang berorientasi pada pengelola pelayanan. Paradigma ini lebih bersifat birokratis, direktif, dan hanya memperhatikan / mengutamakan kepentingan pimpinan / organisasi pelayanan itu sendiri. Paradigma ini banyak mendapat keluhan dari masyarakat pengguna layanan karena kurang memperhatikan kepentingan masyarakat pengguna layanannya. Masyarakat sebagai pengguna layanan tidak memiliki kemampuan apapun untuk berkreasi, suka tidak suka, mau tidak mau, mereka harus tunduk kepada pengelola pelayanan. Seharusnya pelayanan publik dikelola dengan paradigma yang bersifat supportif dimana lebih memfokuskan diri pada kepentingan masyarakat pengguna layanan, pengelola harus mampu bersikap menjadi pelayan yang sadar untuk melayani dan bukan dilayani.

Paradigma kedua merupakan paradigma yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu paradigma pelayanan publik yang terfokus / berorientasi pada kepuasan pengguna layanan (customer driven government).

Customer driven government merupakan prinsip ke-enam dari sepuluh prinsip mewirausahakan birokrasi yang diajukan oleh David Osborne dan Ted Gaebler (1992 : 191). Prinsip ini menguraikan bahwa pemerintahan yang berorientasi pelanggan adalah pemerintah yang memenuhi kebutuhan pengguna layanannya, bukan birokrasi.

Kebanyakan organisasi pemerintah bahkan tidak tahu siapa pengguna layanan mereka. Mengapa demikian? Menurut Osborne dan Gaebler, logikanya sederhana, karena sebagian besar badan pemerintah tidak memperoleh dananya dari pengguna layanan (secara langsung).  Disamping itu sebagian pelanggan mereka bersifat captive, pelanggan ‘paksa’, singkatnya para pengguna layanan mempunyai sedikit alternatif terhadap pelayanan yang disediakan oleh pemerintah. Oleh karena itu birokrasi sering mengabaikan para pengguna layanannya. Birokrat menganggap bahwa pelanggan mereka adalah eksekutif dan legislatif, karena dari sanalah mereka memperoleh dana secara langsung. Para pejabat birokrat yang diangkat, pada gilirannya, lebih berorientasi pada pejabat yang mengangkatnya atau kelompok kepentingan / partai. Jadi, sementara bisnis bersungguh-sungguh menyenangkan pelanggan, badan pemerintah mati-matian untuk menyenangkan kelompok kepentingan.

Budiono (2003 : 3) mendefinisikan pemerintah yang berorientasi pelanggan (customer driven government) yaitu pemerintah yang meletakkan pengguna layanan sebagai hal yang paling depan. Oleh karena itu, kepuasan pengguna layanan ditempatkan sebagai sasaran penyampaian tujuan, dengan mendengarkan suara pengguna layanan. Dengan memperhatikan kebutuhan dasar pengguna layanan, pemerintah lebih responsif dan inovatif. 

Lembaga Administrasi Negara (2003 : 27) memberikan ciri-ciri dari paradigma pelayanan customer driven government, antara lain sebagai berikut : (1) lebih fokus pada kegiatan fasilitasi untuk berkembangnya iklim yang kondusif bagi kegiatan pelayanan masyarakat; (2) lebih fokus pada pemberdayaan masyarakat; (3) fokus pada pencapaian visi, misi, tujuan, sasaran dan hasil (outcomes); (4) fokus pada kebutuhan dan keinginan masyarakat; (5) pada hal tertentu, organisasi pemberi layanan juga berperan untuk memperoleh pendapatan dari pelayanan yang dilaksanakan; (6) fokus pada antisipasi terhadap permasalahan pelayanan; dan (7) lebih mengutamakan desentralisasi dalam pelaksanaan pelayanan.

Berdasarkan uraian di atas, maka paradigma customer driven government adalah paradigma pelayanan publik yang menempatkan pengguna layanan sebagai hal yang terdepan dan merupakan fokus terpenting dari penyelenggaraan suatu pelayanan atau lebih populer dengan istilah “putting the customer on the driver seat”.


Tugas Pokok Pemerintahan Modern : Pelayanan Kepada Masyarakat


Beberapa pakar dan teoritisi administrasi berpendapat bahwa peranan pemerintah harus terfokuskan pada upaya meningkatkan pelayanan kepada masyarakat selain pemberdayaan dan pembangunan. Tugas pokok pemerintahan modern menurut Rasyid (1997, 11) pada hakekatnya adalah pelayanan kepada masyarakat, dengan kata lain, ia tidak diadakan untuk melayani dirinya sendiri, tetapi untuk melayani masyarakat serta menciptakan kondisi yang memungkinkan setiap anggota masyarakat mengembangkan kemampuan dan kreativitasnya demi tercapainya tujuan bersama.

Seiring dengan dinamika dan kompleksnya tuntutan pelayanan kepada masyarakat, pemerintah tidak lagi dapat mengklaim dirinya sebagai satu-satunya sumber kekuasaan yang absah. Paradigma pemerintah sebagai a governing process ditandai oleh praktek pemerintahan yang berdasarkan pada konsensus-konsensus etis antara pemimpin dengan masyarakat. Pemerintahan dijalankan berdasarkan kesepakatan-kesepakatan yang terbentuk melalui diskusi dan diskursus yang berlangsung dalam ruang publik. Kedaulatan rakyat sebagai sebuah konsep dasar tentang kekuasaan telah menemukan bentuknya disini (ibid, 20). Dalam konteks ini, penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan dan pelayanan publik tidak semata-mata didasarkan pada pemerintah, tetapi dituntut adanya keterlibatan seluruh elemen, baik intern birokrasi, maupun masyarakat dan pihak swasta. Pemikiran tersebut hanya akan terwujud manakala pemerintah didekatkan dengan yang diperintah, atau dengan kata lain terjadi desentralisasi dan otonomi daerah. 

Dampak reformasi yang terjadi di Indonesia, ditinjau dari segi politik dan ketatanegaraan, adalah terjadinya pergeseran paradigma dan sistem pemerintahan yang bercorak monolitik sentralistik di pemerintah pusat ke arah sistem pemerintahan yang desentralistik (lokal democrasi) di pemerintah daerah (Utomo, 2002). Pemerintahan semacam ini memberikan keleluasaan kepada Daerah dalam wujud “Otonomi Daerah” yang luas dan bertanggung jawab, untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat, berdasarkan prinsip-prinsip demokrasi, peran serta, prakarsa dan aspirasi masyarakat sendiri atas dasar pemerataan dan keadilan, serta sesuai dengan kondisi, potensi dan keragaman daerah.

Otonomi Daerah sebagai wujud pelaksanaan asas desentralisasi dalam penyelenggaraan pemerintahan yang digulirkan oleh Pemerintah sebagai jawaban atas tuntutan masyarakat, pada hakekatnya merupakan penerapan konsep teori areal division of power yang membagi kekuasaan negara secara vertikal. Dalam konteks ini, kekuasaan akan terbagi antara pemerintah pusat di satu pihak dan pemerintah daerah di lain pihak, yang secara legal konstitusional tetap dalam kerangka negara kesatuan republik Indonesia. Kondisi ini membawa implikasi terhadap perubahan paradigma pembangunan yang dewasa ini diwarnai dengan isyarat globalisasi. Konsekuensinya, berbagai kebijakan publik dalam kegiatan pemerintahan, pembangunan dan pelayanan publik menjadi bagian dari dinamika yang harus direspons dalam kerangka proses demokratisasi, pemberdayaan masyarakat dan kemandirian lokal.

teori konsep kualitas pelayanan publik

usai sholat subuh, muncul lagi niat untuk menulis postingan lagi. setelah cari-cari bahan, akhirnya ketemu satu bahan yg cukup menarik untuk diposting. untuk postingan kali ini saya tertarik dgn pokok bahasan teori konsep dari kualitas pelayanan publik. kita mulai dari teori konsep tentang kualitas. menurut goetsh dan davis (dalam tjiptono, 1996:51) mengartikan kualitas sebagai suatu kondisi dinamis yang berhubungan dengan produk, jasa, manusia, proses dan lingkungan yang memenuhi atau melebihi harapan. berbeda halnya dengan ibrahim (1997:1) yang mendefinisikan kualitas sebagai suatu strategi dasar bisnis yang menghasilkan barang dan jasa yang memenuhi kebutuhan dan kepuasan internal dan eternal, secara eplixit dan implisit. sedangkan gazpersz (1997:4) membedakan pengertian kualitas dalam dua pengertian, yaitu : definisi konvensional dan definisi strategik. definisi konvensional dari kualitas biasanya menggambarkan karakteristik langsung dari suatu produk seperti : performansi (performance), keandalan (reliability), mudah dalam penggunaan (easy of use), estetika (esthetics) dan sebagainya. sedangkan definsi strategik menyatakan bahwa kualitas adalah segala sesuatu yang mampu memenuhi keinginan atau kebutuhan pelanggan (meeting the needs of costumers). mengacu kepada kedua definisi tersebut, sehingga menurut gaspersz (1997:5) bahwa : pada dasarnya kualitas mengacu kepada keistimewaan pokok, baik keistimewaan langsung maupun keistimewaan aktraktif yang memenuhi keinginan dan kepuasan pelanggan serta segala sesuatu yang bebas dari kekurangan dan kerusakan. sedangkan triguno (1997:76) mendefinisikan kualitas sebagai : suatu standar yang harus dicapai oleh seorang/kelompok/lembaga/ organisasi mengenai kualitas sumber daya manusia, kualitas cara kerja, proses dan hasil kerja atau produk yang berupa barang dan jasa. selanjutnya ia juga mengatakan bahwa berkualitas mempunyai arti memuaskan kepada yang dilayani, baik internal maupun eksternal, dalam arti optimal pemenuhan atas tuntutan/persyaratan pelanggan/masyarakat. garvin (dalam lovelock, 1994; ross, 1993) memahami perbedaan pengertian kualitas dari berbagai ahli, karena itu garvin mengelompokkan pengertian kualitas tersebut dalam lima perspektif, dimana kelima macam perspektif inilah yang bisa menjelaskan mengapa kualitas bisa diartikan secara beraneka ragam oleh orang yang berbeda dalam situasi yang berlainan. kelima macam perspektif kualitas tersebut menurut garvin adalah sebagai berikut : 1. transcedental approach, yang memandang kualitas sebagai innate excellence, dimana kualitas dapat dirasakan atau diketahui, tetapi sulit didefinisikan dan dioperasionalkan. 2. product based approach, yang menganggap bahwa kualitas merupakan karakteristik atau atribut yang dapat dikuantifikasikan dan dapat diukur. 3. user based approach, yang memandang bahwa kualitas tergantung kepada orang yang memandangnya, sehingga produk yang paling memuaskan preferensi seseorang merupakan produk yang berkualitas paling tinggi. 4. manufacturing based approach, yang memandang bahwa kualitas sebagai kesesuaian/sama dengan persyaratan (comformance to requirements). dalam sektor jasa, dapat dikatakan bahwa kualitasnya bersifat operations driven. 5. value based approach, yang memandang kualitas dari segi nilai dan harga dengan mempertimbangkan trade off antara kinerja dan harga, kualitas didefinisikan sebagai "affordable exellence". berdasarkan uraian di atas, garvin menyimpulkan bahwa pada hakekatnya kualitas akan mengacu pada kreteria sebagai berikut : 1) kondisi produk/jasa 2) strategi dasar yang menghasilkan jasa 3) karakerisitik produk 4) keistimewaan produk yang bebas dari kekurangan dan kerusakan 5) standard yang harus dicapai. kelima kriteria tersebut pada akhirnya diarahkan untuk memenuhi dan memuaskan pelanggan/consumer atau masyarakat. dalam hal ini kualitas suatu produk atau jasa hanya dapat ditentukan oleh pelanggan sendiri, karena merekalah yang merasakan produk atau jasa yang dihasilkan oleh suatu organisasi baik bisnis maupun publik. oleh karena itu kualitas selalu berfokus pada pelanggan (custumer focused quality). kualitas pada dasarnya terkait dengan pelayanan yang terbaik, yaitu suatu sikap atau cara karyawan dalam melayani pelanggan atau masyarakat secara memuaskan. menurut triguno (1997:78) pelayanan yang terbaik, yaitu "melayani setiap saat, secara cepat dan memuaskan, berlaku sopan, ramah dan menolong, serta profesional dan mampu". sedangkan menurut tjiptono (1996:58) secara garis besar ada empat unsur pokok yang terkandung di dalam pelayanan yang unggul (service excellence), yaitu : 1. kecepatan. 2. ketepatan. 3. keramahan. 4. kenyamanan. keempat komponen tersebut merupakan satu kesatuan yang terintegrasi, artinya pelayanan menjadi tidak excellence bila ada komponen yang kurang. kualitas jasa atau layanan yang baik akan dapat memberikan kepuasan kepada masyarakat, yang pada akhirnya akan menciptakan loyalitas masyarakat kepada organisasi (institusi) yang bersangkutan. selanjutnya wyckof (dalam tjiptono, 1996:59) mengartikan kualitas jasa atau layanan, yaitu : tingkat keunggulan yang diharapkan dan pengendalian atas tingkat keunggulan tersebut untuk memenuhi keinginan pelanggan". ini berarti, bila jasa atau layanan yang diterima (perceived service) sesuai dengan diharapkan, maka kualitas jasa atau layanan dipersepsikan baik dan memuaskan, jika kualitas jasa atau layanan yang diterima lebih rendah dari yang diharapkan, maka kualitas jasa atau layanan akan dipersepsikan buruk. dengan demikian, fungsi pemerintah bukan hanya terbatas pada aktivitas pemberian pelayanan kepada masyarakat, tetapi juga harus menjamin bahwa pelayanan yang diberikan kepada masyarakat tersebut betul-betul berkualitas. berdasarkan sendi-sendi kualitas pelayanan kepada masyarakat tersebut, maka secara umum sendi-sendir tersebut telah mencerminkan karakteristik pelayanan yang diinginkan pelanggan yaitu pelayanan yang lebih cepat (faster), lebih murah (cheaper) dan lebih baik (better) (gazperzs, 1997:12)

JUAL OLEH OLEH KHAS BANJARMASIN KALIMANTAN SELATAN
KLIK DISINI AJA YA >>> BUNGAS LANGKAR ONLINE STORE

pemerintah dan pelayanan publik

tujuan utama dibentuknya pemerintahan adalah untuk menjaga suatu sistem ketertiban didalam mana masyarakat bisa menjalani kehidupan secara wajar. pemerintahan modern pada hakekatnya adalah pelayanan kepada masyarakat. pemerintah tidaklah diadakan untuk melayani dirinya sendiri, tetapi untuk melayani masyarakat, menciptakan kondisi yang memungkinkan setiap anggota masyarakat mengembangkan kemampuan dan kreativitasnya demi mencapai kemajuan bersama.

dalam ilmu pemerintahan, ndraha (2000:7) mengemukakan bahwa: sebagai unit kerja publik, pemerintah bekerja guna memenuhi (memproduksi, mentransfer, mendistribusikan) dan melindungi kebutuhan, kepentingan dan tuntutan pihak yang diperintah sebagai konsumer dan sovereign, akan jasa-publik dan layanan civil, dalam hubungan pemerintahan.

dengan demikian, masyarakat sebagai konsumer produk-produk pemerintahan berhadapan dengan pemerintah sebagai produser dan distributor dalam posisi sejajar, yang satu tidak berada dibawah yang lain. oleh karena itu posisi yang diperintah sebagai konsumer erat sekali berkaitan dengan posisi sovereign. melalui posisi sebagai sovereign, masyarakat memesan, mengamanatkan, menuntut dan mengontrol pemerintah, sehingga jasa publik dan layanan civil bisa dirasakan oleh setiap orang pada saat dibutuhkan dalam jumlah dan mutu yang memadai.

lebih lanjut ndraha (1999:58) mengemukakan bahwa : public dalam public policy yang menjadi dasar bagi pelayanan-publik adalah hal yang menyangkut kepentingan masyarakat umum. berbeda dengan jasa-pasar yang dapat dijual-belikan menurut mekanisme pasar (misalnya jasa bank, jasa swasta, jasa dokter), jasa publik (produk yang menyangkut kebutuhan hidup orang banyak, dari masyarakat lapisan bawah, seperti air minum, jalan raya, listrik, telkom, proses produksinya disebut pelayanan-publik) diproduksi dan dijual-belikan dibawah kontrol pemerintah.

untuk mengetahui ukuran yang dipertimbangkan publik dalam menilai kualitas pelayanan, rene t. domingo dalam triguno (1999:77) mengemukakan bahwa “ dimensi kualitas pelayanan dapat dikur melalui waktu, ketepatan, kehormatan, kepekaan, kelengkapan, kesiapan, kenyamanan dan lingkungan ”.

sedangkan gaspersz dalam lukman (1998:8) mengemukakan dimensi kualitas pelayanan meliputi :
1. ketepatan waktu pelayanan
2. akurasi pelayanan
3. kesopanan, keramahan dalam memberikan pelayanan
4. tanggung jawab
5. kelengkapan
6. kemudahan mendapatkan pelayanan
7. variasi model pelayanan
8. pelayanan pribadi
9. kenyamanan dalam memperoleh pelayanan dan
10. atribut pendukung pelayanan lainnya.

bahwa terdapat perbedaan antara pelayanan dengan layanan, sebagaimana dijelaskan ndraha (1998:6) “ pelayanan (proses) meliputi input, proses, output dan outcome sedangkan layanan (output) hanya mencakup output dan outcome saja”. berdasarkan pemahaman tersebut, maka dalam penelitian ini yang menjadi fokus kajian adalah outputnya saja (layanan).

pelayanan kepada masyarakat merupakan suatu bentuk interaksi atau hubungan antara penyedia layanan dan penerima layanan. dengan kata lain dalam hubungan pemerintahan terkandung makna adanya organisasi yang memerintah dan masyarakat yang diperintah.

birokrasi merupakan organisasi atau unit kerja publik yang berfungsi sebagai provider layanan. konsep birokrasi yang banyak diterima sampai sekarang adalah teori yang dikembangkan oleh max weber yang mendefinisikan karakteristik suatu organisasi yang memaksimumkan stabilitas dan untuk mengendalikan anggota organisasi dalam rangka mencapai tujuan bersama.

sebagaimana dikemukan gibson, et, al, (1989:391) bahwa : birokrasi (berdasarkan konsep weber) lebih unggul dari setiap bentuk apapun juga dalam hal ketepatan stabilitas, disiplin dan kepercayaan. sehingga birokrasi memungkinkan untuk dapat mencapai efisiensi dan efektivitas.

tipe ideal birokrasi yang digambarkan weber tersebut dirangkum oleh martin albrow dalam warwick (1975:4) pada empat ciri utama, yaitu :
1#
adanya suatu struktur hirarkis yang melibatkan pendelegasian wewenang dari atas ke bawah dalam organisasi (a hierarchical structure involving delegation of authority from the top to the bottom of an organization)
2#
adanya posisi-posisi atau jabatan-jabatan yang masing-masing memiliki tugas dan tanggung jawab yang tegas (a series of official positions or offices, each having prescribed duties and responsibilities)
3#
adanya aturan-aturan, regulasi-regulasi dan standar-standar formal yang mengatur tata kerja organisasi dan tingkah laku para anggotanya (formal rules, regulations and standards governing operations of the organization and behavior of its members)
4#
adanya personil yang secara teknis memenuhi syarat, yang dipekerjakan atas dasar karir, dengan promosi yang didasarkan pada kualifikasi dan penampilan (technically qualified personel employed an a career basis, with promotion based on qualifications and performance)

pemahaman yang sama dikemukakan oleh moorhead dan griffin (1992:585) bahwa : birokrasi adalah struktur organisasi yang diperkenalkan oleh weber dengan karakteristik adanya hirarki wewenang, sistem prosedur, peraturan, dan pembagian kerja. konsep birokrasi yang dikemukakan weber pada dasarnya mencakup logika, rasionalitas, dan efisiensi, karena merupakan suatu pendekatan yang paling efisien.

sedang benveniste (1987:6) mendefinisikan : birokrasi sebagai suatu organisasi besar dimana peraturan-peraturan dan rutinitas digunakan secara berlebihan, disamping juga terlalu tingginya tingkat hirarki, sehingga karyawan diarahkan menangani pekerjaan yang terspesialisasi dan dilakukan berulang-ulang, disamping juga organisasi dibagi ke dalam unit-unit kecil sehingga struktur organisasi menjadi kompleks dengan pembuatan keputusan yang berkepanjangan.

selanjutnya thoha (1995:181) menjelaskan bahwa “ kualitas layanan sangat tergantung pada bagaimana pelayanan itu diberikan oleh anggota dan sistem yang dipakai dalam organisasi”. artinya aktivitas organisasi adalah aktivitas orang-orang, sedangkan orang atau manusia adalah unsur utama dalam setiap organisasi. sebagaimana dikemukakan winardi (1989:1) bahwa : organisasi-organisasi di bentuk oleh manusia untuk mencapai tujuan atau sasaran-sasaran tertentu, dan oleh karena komponen pokok organisasi adalah manusia maka sebenarnya perilaku organisasi tidak lain dari perilaku manusia di dalam organisasi yang bersangkutan.

berkenaan dengan konsep perilaku tersebut ndraha (1999:65) menjelaskan bahwa perilaku adalah : operasionalisasi dan aktualisasi sikap seseorang atau suatu kelompok dalam atau terhadap suatu (situasi dan kondisi) lingkungan (masyarakat, alam, teknologi atau organisasi), sementara sikap adalah operasionalisasi dan aktualisasi pendirian.

hal yang sama dikemukakan pula oleh paramita (1985:10) dalam penelitiannya mengenai struktur organisasi di indonesia, bahwa : posisi semua dimensi struktur organisasi tertentu akan berbentuk gambaran strukturnya, sehingga mungkin untuk memberi ciri pada organisasi berdasarkan gambaran strukturnya dan aktivitas anggotanya.

untuk itu terdapat beberapa dimensi yang dapat digunakan untuk mengukur tingkat perilaku birokrasi suatu organisasi, sebagaimana gibson, et, al, (1989:340) mengemukakan bahwa : walaupun sulit untuk mendapatkan pemahaman yang universal tentang dimensi struktural organisasi, namun ada beberapa dimensi yang selalu mencul dari beberapa pengertian birokrasi suatu organisasi, yaitu formalisasi, sentralisasi dan kompleksitas.

menurut ndraha (1989:63) “laku yang rasional disebut aktivitas, dan aktivitas mempengaruhi, baik produktivitas maupun kualitas hidup manusia yang bersangkutan”. oleh karena satuan perilaku yang utama adalah aktivitas, maka perilaku birokrasi yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah operasionalisasi dan aktualisasi sikap aparatus yang tampak dalam aktivitas pekerjaannya.

CARI OLEH OLEH KHAS BANJARMASIN KALIMANTAN SELATAN ?
Cari di Tokopedia Aja Ya... Klik Disini >>> Bungas Langkar Online Store
 

Copyright © tentang pelayanan publik. Template created by Volverene from Templates Block
WP by Simply WP | Solitaire Online